Selasa, 24 Mei 2011

TRADISI LOKALITAS DALAM BUDAYA POLITIK JAWA


Nama    : Ahmad sofi dzulfikar
Kelas     : 1KA32
NPM      : 10110421
TEMA    : BUDAYA DAN LOKALITAS


ABSTRAK
Tradisi lokalitas setiap daerah tentu saja berbeda-beda tergantung dari budaya yang di anut suatu daerah tersebut. Dalam wacana kebudayaan, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal. Budaya lokal berada pada tingat culture, hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri dari masyarakat yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Membahas tentang kebudayaan akan berhubungan dengan tradisi lokalitas suatu daerah, seumpamanya adalah jawa.  Budaya politik nasional, termasuk budaya berdemokrasi dan khususnya berkaitan dengan bangunan sistem kekuasaan, merupakan hasil akumulasi, agregasi dari budaya, dan sistem kekuasaan dari daerah-daerah (budaya lokal).namun, suatu hal yang tidak dapat kita pungkiri adalah, bahwa dominasi budaya Jawa, terhadap pembentukan budaya politik nasional merupakan suatu keniscayaan. Karena bukan saja kekuasaan negeri ini dikendalikan dari Jawa, tapi struktur kekuasaan yang ada pun didominasi oleh orang Jawa, sebagai akibat dari dominannya etnis Jawa secara kuantitatif.
KATA KUNCI: Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan daerah), Kebudayaan umum lokal, Kebudayaan nasional

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat  Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya serta kekuatan lahir dan bathin kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penulisan skripsi dengan judul “TRADISI LOKALITAS DALAM BUDAYA POLITIK JAWA” ini dimaksudkan untuk mememenuhi sebagian dari persyaratan guna menyelesaikan program sarjana (S1) pada Fakultas Ilmu komputer  Universitas Gunadarma.

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
ABSTRAK.... ............................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian..................................................................................
1.5 Sistematika Penulisan............................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
2.1 Landasan Teori ........................................................................................
           2.1.1 Budaya........................................................................................
           2.1.2 Budaya Nasional .......................................................................
           2.1.2.1 Subkultur Budaya ...................................................................
           2.1.2.1.1 Budaya Jawa Tengah ..............................................................

BAB II HASIL PEMBAHASAN ..........................................................
3.1 A. Tradisi Sikap Orang Jawa...........................................................................
          3.1.1 A. Sikap Halus............................................ .......................................
          3.1.2 A. Sikap Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap..................................
          3.1.3 A. Sikap Kebersamaan.................................................... ..................
3.2 B. Budaya Politik Jawa...................................................................................
          3.2.1 B. Hierarki.........................................................................................
          3.2.2.B. Patronage.............................................................. .......................
          3.2.3.B. Neo-Patrimonialistik............................................... .....................
BAB IV PENUTUP............................................................................
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................
        4.1.2 Keterbatasan Penelitian......................................................................
        4.1.3 Saran ............................................................................................... .
Daftar Pustaka ...................................................................................................
Lampiran - Lampiran ..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Organisasi yang baik, tumbuh dan berkembang akan menitikberatkan pada sumber daya manusia (human resource) guna menjalankan fungsinya dengan optimal, khususnya menghadapi dinamika perubahan lingkungan yang terjadi. Dengan demikian kemampuan teknis, teoritis, konseptual, moral dari para pelaku
organisasi/ perubahan di semua tingkat (level) masyarakat. Sistem yang ditetapkan oleh organisasi tidak terlepas dari ikatan budaya yang diciptakan. Ikatan budaya tercipta oleh masyarakat setempat, baik dalam keluarga, organisasi, bisnis, maupun bangsa.
Budaya bertindak sebagai sumber eksternal yang mempengaruhi perilaku karyawan pada kepribadian sehari-harinya yang akibatnya mempengaruhi perilaku setiap orang dalam organisasi,karena setiap orang membawa sepotong dunia luar ke tempat kerja. Secara keseluruhan, dampak budaya masing-masing individu menciptakan perubahan dalam budaya dari organisasi itu sendiri.Budaya, sebagai pemrograman kolektif pikiran, membedakan satu kelompok atau kategori orang-orang dari yang lain (Hofstede, 2005).
Dalam konteks sosial politik dan sejarah ekologi, jenis dan pentingnya nilai ditempatkan
bervariasi dari budaya satu ke budaya lainnya. Nilai-nilai budaya memainkan peran yang signifikan dalam membentuk kebiasaan dan praktek yang terjadi dalam organisasi.
Memahami nilai-nilai budaya adalah penting dalam hal itu memfasilitasi setiap anggota tim kemampuan untuk benar mengidentifikasi, memahami dan respon terhadap perbedaan dalam berpikir, merasa dan bertindak anggota tim
yang potensial di seluruh dunia. Bagi perusahaan yang mencakup anggota bervariasi, pengetahuan budaya dan sensitivitas nilai-nilai budaya adalah sebuah kebutuhan yang harus ditangani pada praktek manajemen dan pelatihan.
Seseorang yang memiliki latar belakang yang sama cenderung memiliki kesamaan dalam banyak hal seperti cara berpikir, perasaan yang sama dan perilaku mereka sejalan dengan warisan nilai dari nenek moyang. Sebagai akibatnya, perilaku dalam negosiasi ini cukup konsisten dalam budaya, dan budaya masing-masing memiliki negosiasi sendiri gaya yang khas (Simantrias dan Thampomas, 1998). Tapi pada pola ini berbeda dengan gaya manajemen lintas budaya dan juga budaya.

1.2  Perumusan Masalah
Nilai-nilai masyarakat diilhami oleh budaya setempat dan mendarah daging
pada leluhurnya. Nilai-nilai ini juga sedikit banyak berpengaruh pada tingkah laku
yang melatarbelakangi sifat, tindakan, karakteristik pengambilan keputusan dari masyarakat setempat.

     1.3 Tujuan Penelitian 
     
     Tujuan dari penelitian ini, sesuai dengan rumusan masalah yang eliti, diantaranya adalah: 
Mengetahui pengaruh hubungan antara budaya nasional dengan kompetensi.
Mengetahui pengaruh hubungan budaya yang mendukung kemajuan organisasi.
Mengetahui pengaruh hubungan antara kompetensi komunikasi lintas Budaya.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat bagi penulis yaitu sebagai bahan referensi dan memberikan kontribusi tambahan untuk mengembangkan ilmu manajemen khususnya yang berkaitan dengan Manajemen SDM. Hasil penelitian ini akan melengkapi hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan sebelumnya dan guna menambah khasanah akademik yang bermanfaat bagi banyak pihak.

1.5  Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah penguraian isinya diperlukan sistematika penulisan. Penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab. Masing-masing bab membahas permasalahan untuk memperoleh gambaran
yang jelas dari seluruh skripsi ini. Adapun pembagian masing-masing bab secara terperinci sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan
Bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II Telaah Pusataka
Bagian ini membahas landasan teori, kerangka pemikiran teoritis, penelitian terdahulu, dan hipotesis.

Bab II Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini menguraikan deskripsi obyek penelitian, hasil penelitian,dan pembahasan dari analisis data.

Bab V Penutup
Bab ini menguraikan kesimpulan-kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian dan saran-saran sebagai masukan dan penelitian selanjutnya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori

2.1.1 Budaya

Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda
dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya. Cara-cara menjalani kehidupan sekelompok masyarakat dapat didefinisikan sebagai budaya masyarakat tersebut. Satu definisi klasik mengenai budaya
adalah sebagai berikut: "budaya adalah seperangkat pola perilaku yang secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada anggota dari masyarakat tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen, 1995). Di lain
sisi budaya menurut (Tyler dalam Mowen, 1995) merupakan “a complex whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”.
Ada pula definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh prilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan
seseorang untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahunnya kepada generasi berikutnya melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang
menyeluruh, bahwa budaya memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya dipahami melalui suatu proses belajar.
Definisi di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani
hidup dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan.
Interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang
budayanya semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari
generasi ke generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan.
Misalnya proses difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu.
Kita bisa melihat bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani
budaya populer dari negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah
tidak lagi dijadikan dasar dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah
yang disebut bahwa budaya mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain.
Dalam hal-hal tertentu adaptasi budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain
proses adaptasi budaya luar menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari
anggota masyarakat terhadap budaya sendiri.
Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas
terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu
dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu
masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari
budaya sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati).
Enkulturasi menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis
mengikuti perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang
cenderung sulit menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung
mempertahankan budaya lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai
akulturasi (acculturation).
Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat
aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup/ anggota
dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan
pada adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup.
Dengan aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan
bertindak. Jika tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah
digariskan, maka akan timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani
kehidupan. Rasa bahagia akan juga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia
mampu memenuhi persyaratan-persyaratan sosialnya.
Orang akan sangat bahagia jika mampu bertindak baik menurut aturan
budayanya. Oleh karena itu, budaya merupakan sarana untuk memuaskan
kebutuhan anggota masyarakatnya. Kebudayaan, menurut (Soemardjan, 2010)
adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Mengacu pendapat
tersebut, maka karya masyarakat akan menghasilkan teknologi dan kebudayaan
yang berwujud benda, misalnya rumah, makanan, senjata, pakaian dan
sebagainya.Budaya nasional memiliki arti bahwa suatu cara bertindak tertentu lebih
disukai karena dinggap cocok dengan nilai-nilai budaya daripada yang lain.

2.1.2 Budaya Nasional

Sistem bangsa telah diperkenalakan diseluruh dunia pada pertengahan
abad ke duapuluh, diikuti dengan sistem kolonial yang telah dikembangkan
tiga abad sebelumnya. Dalam periode kolonial, kemajuan teknologi negaranegara
Eropa Barat yang hanya disebarkan pada negara-negara mereka saja,
sehingga mereka membagi seluruh territorial wilayah didunia yang tidak
memiliki kekuatan politik. Batas wilayah antara sebelum kolonial dan sesudah
kolonial ditentukan oleh para penguasa kolonial dibanding dengan penduduk
setempat. Oleh karena itu, bangsa tidak dapat disamakan dengan masyarakat.
Bentuk-bentuk asli yang telah dikembangkan organisasi sosial,
sebenarnya merupakan konsep kebudayaan umum yang berlaku untuk seluruh
masyarakat, dan bukan untuk bangsa. Namun, banyak negara yang keutuhan
historisnya dikembangkan bahkan bila dalam negara tersebut terdiri-dari
kelompok yang berbeda, mereka akan menjadi kelompok minoritas yang
kurang terintergrasi.
Dalam bangsa yang telah ada selama beberapa waktu ada kekuatan yang
kuat terhadap intergrasi secara berkelanjutan. Hal ini bisa dalam bentuk bahasa
nasional yang dominan, media massa umum, sistem pendidikan nasional,
tentara nasional, sistem politik nasional, representasi nasional di acara olahraga
dengan simbolis yang kuat dan emosional.

2.1.2.1 Subkultur Budaya

Pada penelitian Analis Pengaruh Budaya Nasional, Budaya Organisasi,
dan Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya terhadap Kompetensi  ini responden mewakili mewakili subkultur Kota Semarang yaitu Jawa Tengah.

2.1.2.1.1 Budaya Jawa Tengah

Kebudayaan Jawa mengandung unsur-unsur yang memiliki kesamaan
dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, bahkan terdapat unsure-unsur
universal-nya. Penjabaran rumusan tersebut meliputi banyak unsur, seperti
adat-istiadat, sopan santun, kaidah pergaulan, kesusastraan, kesenian,
keindahan (estatika), mistik, falsafah dan apapun yang temasuk unsur
kebudayaan pada umumnya.
Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, di Jawa Tengah bahasa
Jawa sebagai semangat untuk melestarikan kebudayaan. Semua kalangan yang
menggunakan bahasa Jawa mempunyai kepentingan agar sedikitnya bahasa
Jawa tetap berperan dalam kehidupan Jawa. Banyaknya tingkatan dalam
bahasa Jawa yang memiliki hakikatnya tersendiri, telah membuat bahasa yang
merupakan bagian dari kabudayaan yang lengkap.
Penggunaan bahasa Jawa harus diterapkan dengan tepat, karena banyak
sekali hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakannnya. Seperti kepada
siapa seorang berkomunikasi dan dalan acara apa bahasa tersebut digunakan.
Kebudayaan jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, keserasian,
menjadi semua unsur (hidup dengan yang mati, alam dengan makhluk hidup)
harus hidup harmonis dan berdambingan (Denys, 2005).


BAB II
HASIL PEMBAHASAN

3.1 A. Tradisi Sikap Orang Jawa

3.1.1 A. Sikap Halus

Masyarakat Jawa cendrung untuk menghindarkan diri pada situasi konflik dengan pihak lain. Akan tetapi mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. Hal ini berkaitan dengan konsep “halus” (alus) dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan civilized. Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-kanak. Sikap “alus” ini bertujuan membentuk pola tindakan sesuai dangan norma kesopanan, yang perwujudannya berupa pembatasan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized (ora njawani). Nilai-nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.

3.1.2 A. Sikap Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap

Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, dan dapat menjaga sikap. Sebagai seorang yang berwibawa, harus berhati-hati dalam setiap pola tingkah lakunya dan biasanya orang berwibawa akan selalu di butuhkan orang lain. Karena sikap itu sesorang terkadang membuat jarak dengan orang lain agar terlihat semakin berwibawa. Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu. Sikap berwibawa harus didasarkan pada ketenangan jiwa bukan didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi.

3.1.3 A. Sikap Kebersamaan

Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar dalam bentuk materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Sebagai contoh  Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain cenderung dapat menikmati hak tersebut karena konsep kebersamaan. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Akan tetapi, takkala suatu pihak dituntut untuk mempertanggungjawabkan kewajibannya, seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama mengemban tanggung jawab. Masalah lainnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan (dikritik) agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan (kritik) tersebut sebab orang lain juga sama-sama melakukan kesalan. Sedemikian jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik “tidak ambil pusing” karena banyak “teman”. Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradiktif, yakni, pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus, tetapi pada segi lain sering bersikap “tidak ambil pusing” (tebal muka) terhadap kritik.
Budaya Jawa yang relatif feodal, daripada demokratis berakibat pada feodalisme kekuasaan nasional, merupakan persoalan urgen yang kita hadapi dalam rangka mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers. Baik partai politik yang lama maupun yang baru dapat berusaha untuk memperoleh dukungan. Melihat indikator ini, dapat dipahami bahwa demokrasi berkaitan erat dengan pertanggungjawaban, kompetisi, keterlibatan, dan tinggi-rendahnya kadar untuk menikmati hak-hak dasar.


3.2 B. Budaya Politik Jawa

3.2.1 B Hierarki

Masyarakat jawa pada dasarnya bersifat hierarkis karena kekuasaan itu berasal dari satu sumber maka bersifat konstan. Dan selama sumber kekuasan itu masih memberikan kekuasaan maka kekuasaan itu akan tetap legitimate dan tidak perlu di persoalkan. Stratifikasi sosial di Jawa biasanya didasarkan pada akses kekuasaan bukan didasrkan pada atribut sosial. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara yang mempunyai kekuasaan yang di sebut kaum priyayai dengan kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan yang di sebut wong cilik. Dari status sosial itu mempengaruhi cara berekpresi seseorang memlalui gaya bahasa dengan tingkatan bahasa kromo sampai ngoko.

3.2.2 B Patronage

Menuarut James Scott patronage adalah sebagai pola hubungan patron-client. Dalam hubungan patronage terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau hubungan timbal balik dengan mempertukarakan sumber daya (exchange of resources) yang dimiliki oleh masing masing pihak. Pihak patron biasanya memiliki kekuasaan, kedudukan, jabatan, perlindunan atau materi berupa kekayaan, tanah dan uang. Semantara client hanya memiliki sumber daya berupa tenaga dan loyalitas. Biasa saja dalam hubungan patronage terdapat middleman/brooker yaitu oarang yang menjadi perantara antara patron dengan client.
Budaya politik Jawa jaman dahulu yang bersifat patronage terjadi pada kalangan priyayi dari keluarga keraton. Jaman dahulu Jawa masih di jajah oleh kerajaan belanda dan bersifat sentralis, segala urusan di pegang oleh gubernur jendral. Kalangan priyayi memiliki kekuasaan, jabatan dan materi dapat menyekolahkan seseorang ke Belanda dengan bekerjasama dengan orang Belanda untuk kemudian mereka yang di sekolahkan dapat menjadi bupati pada jaman itu. Dalam terapannya setelah menjadi bupati, bupati tersebut harus mendukung kemajuan keraton.
Pada masa sekarang pun hubungan patronage seperti ini masih sering di jumpai, terlebih lagi saat pemilihan umum presiden, gubernur ataupun pemilihan bupati. Untuk menduduki kursi tertinggi suatu tempat di perlukan dukuang yang memadai dari berbagai kalangan seperti dari partai, pengusaha, tokoh-tokah dan lain sebagainya. Yang perlu di garis bawahi adalah dukungan itu tidak gratis, akan ada semacam bentuk pengembalian materi dalam bentuk pemberian kekuasaan, kebijakan ataupun proyek-proyek. Bentuk perpolitikan seperti itu tidak hanya terjadi di Jawa saja tetapi juga di daerah lain kebanyakan juga seperti itu.

3.2.3 B Neo-Patriomonialistik

Patrimonialistik yang di kemukakan Weber memiliki sejumlah karateristik. Pertama kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seseorang penguasa kepada teman-temanya. Kedua, kebijaksanaan sering kali lebih bersifat partikularistik daripada bersifat unifersalistik. Ketiga, rule of law merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bila dibangdingkan dengan kekuasaan dari seorang penguasa (rule of man). Keempat, kalangan penguasa politik sering kali mengaburkan kepentingan umum.
Karateristik seperti ini dapat kita temui secara jelas pada saat rezim orede baru, gubernur Jawa Tengah pada masa itu, Soewardi membangun rumah dinas super mewah senilai 7,5 M rupiah. Kemudian proyek kuningisasi semua instansi sampai pohon-pohon di pinggir jalan. Demikian juga promosi jabatan, seseoarang camat yang telah memenangi golkar melebihi target akan mendapat promosi jabatan.
Sekiranya hal hal tersebut adalah yang terjadi pada masa itu. Pada masa sekarang keadaan budaya perpolitikan di Jawa sudah lebih baik seiring  dimulainya pelaksanaan otonomi daerah dengan pengelolaan manajemen yang berorientasi good governance.  Pengelolaan manajeman daerah meliputi aspek perencanaan, pemrogaman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pengendalian. Untuk mewujudkannya harus  di dukung dengan pemerintahan yang reinventing goverment yaitu salah satunya adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.


BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

4.1.2 Keterbatasan Penelitian

Untuk menghadapi tantangan masa depan, khususnya menyongsong era globalisasi dalam milenium ketiga, diperlukan beberapa kesiapan yang menyeluruh pada berbagai aspek pembangunan. Berpijak pada Undang-undang tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang tentang Pembagian Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, kesiapan daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) dalam menghadapi tantangan tersebut menjadi sangat penting dalam keseluruhan kesiapan nasional.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam pembangunan di Jawa Tengah antara lain ialah lemahnya sumber daya manusia (SDM) dalam pelaksanaan pembangunan, perencanaan pembangunan yang kurang terfokus pada potensi unggulan yang ada dan kebutuhan yang mendesak, serta masih kurangnya pendayagunaan pakar keilmuan dan hasil kajian keilmuan.
Sementara itu, pelaksanaan penelitian dan pengkajian keilmuan di daerah belum terfokus dan belum merupakan kerja budaya yang diacukan pada kebutuhan pembangunan di daerah. Lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan belum cukup berdaya dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Kesemuanya disebabkan belum adanya sistem penelitian dan pengembangan daerah yang baku, yang secara jelas memberikan visi, misi dan strategi penelitian dan pengembangan. Secara teknis keterbatasan sumber daya merupakan masalah yang laten bagi pelaksanaan upaya tersebut. Keadaan-keadaan tersebut bermuara pada pengambilan kebijakan pembangunan yang tidak didasarkan atas pertimbangan ilmiah.

4.1.3 Saran

Membantu Pemerintah Daerah di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/ Kota serta bekerja sama dengan segenap mitra :

Perumusan kebijakan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat diterapkan dalam pembangunan di Jawa Tengah demi kemandirian kesejahteraan masyarakat;
Konsultasi dan advokasi ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pemerintah dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi pembangunan.

Daftar Pustaka

Andriana, Deni. 2010.  Budaya Lokal, Definisi dan Ruang Lingkupnya.http://goyangkarawang.com. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2010
Djohan Djohermansyah. 1990. Problematik Pemerintahan dan Politik Lokal. Bumi Aksara. Jakarta
Gaffar, Afan. 2000. Politik Indonesia. Pustka Pelajar. Yogyakarta
Gunawan.2007.Dominasi Kebudayaan Jawa dalam Penerapan Politik Indonesia.
http://grelovejogja.wordpress.com. Di akses pada tanggal 18 Oktober 2010
Kansil. 2004. Pemerintahan Daerah Indonesia. Sinar Grafika Offset. Jakarta
Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta
Mardiasmo. 2004. Otonomi dan Manajeman Keuangan Daerah. Andi. Jawa Tengah- Semarang.


Jumat, 18 Maret 2011

Pertemuan Budaya & Konsekuensinya


Indonesia, yang terletak dipersimpangan jalan diagonal barat dan timur, lautan teduh dan lautan Hindia tidak terbebas dari kedatangan bangsa-bangsa asing, dari dahulu hingga sekarang. Yang datang bercokol lama di Indonesia adalah Belanda selama tiga setengah abad, bahkan menjadi penjajah bangsa Indonesia. Bangsa asing lainnya pengaruhnya tidak besar.
Secara kultural yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan keidupan bangsa Indonesia adalah kebudayaan Hindu, Islam, Barat (khususnya Belanda), dan Cina. Jepang pernah berpengaruh walaupun sedikit, terutama karena pernah menduduki Indonesia selama kurang lebih tiga segengah tahun. Oleh sebab itu, kebudayaan Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan-kebudayaan asing tersebut.
Seperti halnya seseorang jika bertemu dengan seseorang lainnya maka terjadilah perkenalan. Dalam perkenalan terjadi proses komunikasi dan interaksi, dimana satu sama lain saling mengamati baik dari segi fisik maupun dari cipta-rasa-karsanya. Apabila hubungan perkenalan berjalan saling membutuhkan dan menarik, maka perkenalan tersebut meningkat menjadi perkawanan dan dari hubungan perkawanan meningkat lagi menjadi persahabatan. Dari persahabatan secara alamiah akan terjadi saling menyerap, dimana yang baik ditiru sedangkan yang tidak baik ditinggalkan.
Tidak jarang terjadi hal-hal yang baik lama-kelamaan ditiru dan dipakai sebagai perilakunya sehari-hari, seolah-olah sudah menjadi bagian dari jatidiri dan kepribadiannya sendiri, sudah barang tentu melewati proses penyesuaian ataupun modifikasi. Biasanya yang ditiru dan disesuaikan adalah perilaku yang baik dari individu yang kuat, berkuasa, dan berpengaruh, karena perilaku dari mereka itu menentukan jalannya kehidupan mereka yang menerima.
Pertemuan kebudayaan kita (Nusantara) dengan kebudayaan asing tidak jauh berbeda dengan proses terjadinya pertemuan antara individu dalam negeri dengan individu luar negeri. Kita wajib bersyukur karena ternyata kebudayaan Nusantara khususnya Jawa, ternyata mempunyai jatidiri dan kepribadian yang kuat, sehingga ketika bertemu dengan kebudayaan asing, kebudyaan Jawa tidak terkikis tenggelam ditelan (dicaplok) oleh kebudayaan asing.
Hal ini berbeda jauh jika dibandingkan misalnya dengan Philipina : datang bangsa Spayol Philipina boleh dikata ditelan masuk jatidiri dan kepribadiannya ke dalam kebudayaan Spayol, datang Amerika Serikat bangsa Philipina menjadi ke-Amerika-amerikaan. Bangsa kita dulu ketika jaman Belanda sebagian lapisan intelektual hampir saja ditelan oleh kebudayaan Belanda, terbukti misalnya dalam
pergaulan, mereka baru merasa terpelajar dan berstatus tinggi apabila mampu menggunakan bahasa Belanda dengan baik. Untungnya situasi seperti itu dapat dihentikan oleh keperkasaan Presiden Soekarno, sehingga mereka dapat mengoreksi diri kembali ke jiwa nasional.
Bagaimana halnya dengan masyarakat Penghayat ?
Di kalangan masyarakat Penghayat kalau ditanggapi secara cermat sebenarnya terjadi pergokakan batin, namun belum muncul kepermukaan. Fenomenanya sudah nampak, terutama dalam mengklasifikasi jenis Penghayat seperti terurai di bawah ini.
Secara umum Penghayat dapat didefinisi secara ilmiah sebagai berikut : Penghayat adalah seseorang yang menjalankan laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa dengan metode induktif. Sedangkan Agamawan adalah seseorang yang menjalankan laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa dengan metode deduktif. Pada diri Penghayat seseorang tidak mau terikat atau diikat oleh dalil-dalil yang bersumber dari kitab-kitab suci. Betul-betul ia berangkat dari nol, Tujuannya satu, melaksanakan laku hidup yang diyakini sebagai berasal dari dunia batin atau lebih tinggi lagi dunia Ketuhanan. Misalnya soal puasa.
Ia menjalankan dengan sepenuh keyakinan ingin mengetahui susana jiwa dan raga, lahir dan batin, jasmani dan rohani seseorang yang menjalankan puasa. Hari pertama seperti apa, hari kedua seperti apa, dan seterusnya, sampai batas tertentu. Yang menentukan batas awal dan batas akhir puasa bukanlah harus dari kitab suci ataupun aturan agama tertentu, tetapi biasanya atas tuntunan dari seseorang guru laku. Apabila dia sendiri sudah mampu memproleh tuntunan dari Tuhan, maka batas puasa otomatis ditentukan oleh tuntunan yang ia terima sendiri. Di sini sama sekali tidak ada paksaan, semuanya berjalan dengan kesadaran yang dilambari oleh keihlasan. Kalau dikatakan atas dasar kedewasaan, hal ini kurang tepat, sebab dalam kenyataan banyak anak-anak atau remaja yang tiba-tiba mempunyai panggilan batin untuk berpuasa. Terhadap hal ini anak-anak atau remaja tadi dibiarkan saja berjalan tanpa guru laku, kecuali datang pertanyaan kepada orang yang secara kebetulan lebih tua atau pun lebih mengerti.
Secara kualitatif laku hidup Berketuhanan Yang Maha Esa itu bermacam-macam dan jumlahnya tak terhitung. Mungkin pada kesempatan tertentu perlu diinventarisasi jumlah dan jenis laku yang pernah dijalankan oleh masyarakt Penghayat sepanjang sejarah.
Laku hidup beragama sudah barang tentu memiliki disiplin yang ketat, artinya harus tunduk takluk mengikuti acuan yang ditetapkan oleh agamanya. Kalau berbeda dari acuan tersebut, harus siap-siap distempel penyimpangan. Dan kalau sudah menyimpang harus pula siap-siap divonis “Sudah berada di luar agama” atau “Dikeluarkan dari institusi agama”.
Kembali kepada masyarakat Penghayat. Kalau dilihat dari panembah (bersembah) manusia sebenarnya terbagi ke dalam dua jenis, yaitu jenis manusia yang menyembah kepada Tuhan sebagai satu-satunya sesembahan yang wajib disembah dan jenis manusia yang menyembah bukan kepada Tuhan tetapi kepada di luar Tuhan, misalnya mahluk-mahluk halus yang dianggap mempunyai kekuatan dahsyat, sehingga dianggap pula memberi daya lebih atau tuntunan nyata kepada manusia. Dalam hal Penghayat, kita bicara hanya tentang jenis manusia yang betul-betul yakin akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan memberi kekuasaan segala-galanya.
Diantara masyarakat tersebut terjadi tiga jalur pemikiran, hal mana disebabkan karena adanya pengaruh budaya asing yang masuk ke dalam budaya Nusantara :
1. Jalur panembah murni atau sering disebut pula sebagai jalur panembah asli, yaitu jenis panembah yang diturunkan dari leluhurnya sendiri, ditandai dengan kosakata yang relatif kesemuanya berasal dari kosakata bahasa daerahnya sendiri (dalam negeri). Segala aktifitas ritual yang berkaitan dengan bahasa, menggunakan bahasa daerah yang dianggap sebagai bahasa peninggalan leluhurnya. Mereka mempunyai syariat sendiri yang berbeda dengan syariat agama. Jadi salah, kalau ada orang yang mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai syariat. Biasanya kaum agama menyebutnya sebagai masyarakat abangan, karena tidak menjalankan syariat agama. Padahal sebutan ini tidak tepat. Contoh antara lain : Paguyuban Perjalanan. Secara kultural jalur ini disebut sebagai jalur akulturasi.
2. Jalur panembah luluh atau sering disebut pula sebagai jalur pengawinan, yaitu jalur panembah yang menggunakan dasar-dasar asli kebudayaan Nusantara dengan dipengaruhi (dicampur, diperkuat) oleh kosakata agama (bahasa Arab, bahasa Sansekerta, bahasa Ibrani ataupun bahasa gama lainnya). Contoh antara lain : Paguyuban Manunggal pimpinan Romo Herucokro (Romo Semana). Secara kultural jalur ini disebut sebagai asimilasi.
3. Jalur panembah rangkap atau sering disebut pula sebagai jalur ganda, yaitu jalur panembah disampng menggunakan syariat agama, juga dirangkapi perilakunya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Es atau jalur agama yang dilaksanakan secara adat budaya setempat, misalnya kejawen. Jalur ini tidak akan meimbulkan fanatisme, karena memandang bahwa agama adalah sistem nilai tertentu, yang bersifat sangat individual. Sedangkan nilai universalnya terletak pada kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pelaksanaannya seseorang tetap menjalankan agamanya secara tertib, akan tetapi secara kebatinan dia menjalankan kepenghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Contoh antara lain : masyarakat kejawen. Mengapa disebut kejawen karena dalam tata-laksananya diusahakan halus, lembut, dan selaras sesuai dengan sifat-sifat budaya Jawa. Ini artinya dalam berkomunikasi dijaga jangan sampai terjadi friksi, sehingga yang tampil adalah harmoni. Di kalangan Penghayat jalur ini paling banyak mendapatkan “pasaran”.
Berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi tidak bergama.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari bangsa Indonesia yang dikesankan religus, seperti sering dikatakan sebagian besar penduduk bangsa Indonesia adalah beragama Isalam, namun dalam kenyataan laku perbuatannya tidak mencerminkan orang-orang yang beragama. Banyak korupsi, penipuan, perampokan, pemerkosaan, narkoba, narkotik, ganja, dan laku perbuatan yang tercela.
Di kalangan Penghayat hal ini dipersoalkan sebagai fenomena yang sangat menarik. Kesimpulannya mereka beragama tetapi tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Ini artinya secara lahiriyah mereka menjalankan syariat agama sepenuhnya tetapi batinnya kosong. Kalau begitu tidak semua orang yang beragama Berketuhanan Yang Maha Esa. Predikat beragama mengandung pengertian menjalankan syariat, sedangkan predikat Berketuhanan Yang Maha Esa bermakna menjalankan hidup berbudi pekerti luhur yang ditunjukkan dengan tidak mau berbohong walaupun kepada diri sendiri apalagi merugikan orang lain atau merusak lingkungan alam sekitarnya. Dalam bahasa teknisnya seorang yang Berketuhanan Yang Maha Esa mempunyai komitmen selalu untuk Memayu Hayuning Bawana (Mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup di dunia).
Alam beserta segala isinya termasuk manusia tidak boleh dirusak, tetapi justru harus dijaga, dipelihara, dan kelestarikan sehingga tidak terjadi gejolak alam, seperti bermacam-macam bencana alam yang terjadi disekitar kita. Menurut pemahaman ini terjadinya bencana alam gempa dan/atau tsunami misalnya, disebabkan karena terlampu banyaknya manusia yang berbuat tidak baik, berbohgong, tercela, culas, atau dengan kata lain tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Bumi diduduki ribuan gedung pencakar langit tidak akan ambles, akan tetapi begitu ditempati oleh manusia-manusia yang tidak terpuji (berkelakukan tidak baik) seperti itu menjadi tidak kuat, tatakan dibawahnya bergeser ke bawah dan ketika menutup kembali terjadilah gempa. Peristiwa ini perumpamaannya seperti sebuah mobil angkutan penumpang kijang misalnya, yang seharusnya diisi hanya oleh maksimal dua belas orang, ini diisi lebih dari maksimal, sehingga per-nya melengkung dan patah, tidak kuat menambah beban.
Sampai di situ banyak manusia yang tidak percaya bahwa sesungguhnya ada hubungan antara perilaku alam dengan perilaku manusia. Sebagai sekedar contoh kecil misalnya, sebatang tanaman yang tumbuh di halaman rumah kita apabila tidak mendapatkan rawatan, maka tanaman itu akan mrana dan lama-kelamaan mati. Peristiwa perawatan menunjukkan bahwa manusia harus mempunyai, memberi, dan melayani kasih kepada tanaman tersebut seperti halnya juga Tuhan memberi kasih setiap saat kepada alam semesta. Tanpa kasih Tuhan jagat raya berserta isinya tidak terwujud dan hidup.
Dalam kenyataan di dunia sekarang banyak orang beragama tapi sayangnya banyak terjadi terorisme, bom-boman, perang, perlombaan senjata, pertentangan ideologi, dan sebagainya, ini semua menunjukkan bahwa sekalipun mereka
beragama, namun tidak Berketuhanan Yang Maha Esa. Mereka masih mengumbar bawa nafsu.
Hidup Berketuhanan Yang Maha Esa baru terselenggara secara baik kalau sudah terjadi perilaku saling menolong, tidak ada permusuhan, tidak ada pertentangan, kelas, tidak ada kerusuhan, apalagi peperangan yang ada hanyalah perdamaian, persaudaraan, keamanan, kesejahteraan, kebahagiaan, keselamatan, dan kenyamanan sejati.
Oleh sebab itu, dalam hidup ini yang amat penting adalah Berketuhanan Yang Maha Esa, tidak lainnya.